Nikah Mut’ah dalam Timbangan

Sebagaimana dilaporkan salah satu majalah nasional kita, Menteri Dalam Negeri Iran mengajak para anggota parlemen dan para pakar agama untuk memikirkan regulasi dan sosialisasi nikah mut’ah. Gagasan ini dilontarkannya sebagai solusi tingginya biaya nikah permanen yang menyulitkan kaum muda Iran sekaligus antisipasi terhadap efek pergaulan antar lawan jenis.

Seperti diketahui, meski mayoritas penduduknya bermazhab Syiah yang menghalalkan mut’ah, praktiknya di Iran masih dianggap tabu. Karena itu, lontaran tersebut mengundang pro dan kontra.

Tentu, kasus ini masih bisa dibatasi dalam konteks Iran. Namun, suatu saat, masalah ini bisa dikaji pula oleh para ulama di Indonesia, yang mayoritas bermazhab Sunni. Terlepas dari soal halal dan tidak halalnya mut’ah, hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan diatur oleh Islam dalam sebuah syariat yang disebut dengan nikah atau perkawinan.

Disepakati oleh seluruh mazhab Islam, pada masa hidup nabi, ada dua macam pola pernikahan; nikah daim (pernikahan permanent) dan nikah muwaqqat (pernikahan berjangka), yang dikenal dengan mut’ah. Dalam nikah jenis kedua ini dua pelaku berlainan jenis melangsungkan akad nikah dengan menyebutkan batas waktu berpisah yang telah disepakati.

Apakah hukum halal melakukan nikah berjangka ini sudah dicabut dalam fikih Islam ataukah tidak? Inilah titik beda antara dua mazhab Islam, Sunni dan Syiah. Sebagian besar ulama Sunni yang menganggapnya sebagai haram terbagi dua. Sebagian berpendapat hukum halal mut’ah dihapus pada masa hidup Nabi dengan ayat al-Quran atau hadis Nabi. Sebagian lain menganggapnya haram, karena penghapusan Umar bin Khattab pada masa pemerintahannya. Para ulama Syiah berkeyakinan bahwa hukum halal mut’ah berlaku hingga hari kiamat.

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ditemukan pernyataan Khalifah kedua, “Ada dua tamattu’ (mut’ah) yang dulu pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan khalifah yang sekarang aku haramkan dan akan aku jatuhkan hukuman atas pelakunya; nikah mut’ah dan haji tamattu’.

Para ulama Syiah berkeyakinan bahwa tidak ada satu ayatpun atau hadis yang menghapus hukum kebolehan tersebut. Menurut mereka, jika mut’ah telah diharamkan oleh Nabi baik dengan sebuah hadis atau ayat, maka Khalifah Umar atau pemimpin setelah beliau tidak perlu mengharamkannya lagi atau mencabut hukum halalnya.

Berkenaan syarat-syarat yang berlaku pada nikah jenis kedua ini, secara umum sama dengan syarat-syarat nikah jenis pertama, seperti keharusan seorang wanita calon istri haruslah seorang yang tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau dalam masa iddah. Begitu juga keharusan adanya izin dari wali, bila dia gadis (belum pernah menikah) dan keharusan penggunaan format (shighat) dalam akad nikah, yaitu ijab kabul dan sebagainya.

Para ahli hukum Islam menyebutkan, bahwa di antara latar belakang disyariatkannya kebolehannya adalah peperangan yang berkepanjangan sebagai antisipasi dan solusi bagi para prajurit yang berpisah lama dengan istrinya dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan seksual. Dan karena pemenuhan kebutuhan seksual tidak mengenal waktu, maka kapanpun hukumnya masih tetap berlaku, terutama bila dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perbuatan dosa.

Sembari mencermati Iran, para ulama dan pakar hukum serta pemerhati sosial di negeri kita, diharapkan mampu melahirkan terobosan yang berbasis hukum agama sebagai antisipasi terhadap pola komunikasi bebas antar lawan jenis, yang merupakan akibat tak terelakkan dari modernitas dan pengaruh dari globalisasi. Mut’ah mungkin saja menjadi solusi moral dan finansial di Iran karena mayoritas penduduknya adalah Muslim Syiah.

Namun, bukankah Islam adalah agama yang relevan sepanjang masa? Bukankah substansi dan argumen lebih diutamakan ketimbang sentimen dan fanatisme sektarian yang hanya akan menciptakan kejumudan? Yang pasti, pengaturan hubungan seksual tidak bisa dianggap lebih kecil dari persoalan sembako dan lumpur Lapindo.

Lalu mungkikah mut’ah disosialisasikan di Indonesia di masa mendatang? Sulit menjawabnya, karena fanatisme bisa membuat orang mengutamakan hubungan seksual tanpa nikah ketimbang menerima pendapat mazhab lain meski berdalil al-Quran dan hadis?
http://www.adilnews.com

~ oleh lateral pada Juli 25, 2007.

Tinggalkan komentar